Wednesday 7 December 2011

Limbangan: Balapan Ke Desa Cikurantung

Langit perlahan-lahan berubah menjadi gelap. Bus yang kami tumpangi tetap melaju kencang. Kami memang sengaja mencari bus yang terakhir pergi sore hari itu. Selain dapat menikmati indahnya senja di dalam bus, penumpangpun tidak terlalu banyak. Tujuan kami ke daerah Limbangan.

Ya, Limbangan? Saya baru mendengar daerah itu dari kawan kuliah saya. Bagian dari kota Garut, tapi untuk kesana harus menumpangi bus yang ke arah kota Tasikmalaya. Kawan saya itu, Sukri, bertempat tinggal disana, tepatnya di Desa Cikurantung. Diajaklah kami bermain di kampung halamannya itu. Saya, Sanie, Pandu pun akhirnya meng-iyakan ajakannya.

Ilustrasi Bus Bandung - Tasikmalaya

Setelah sampai di Limbangan, bus tidak berhenti di tempat pemberhentiannya. Terminal misalnya, entah ada atau tidak punya, saya tidak tau. Kami pun turun di pinggir jalan dan langsung disambut oleh beberapa tukang ojek yang telah siap dengan motornya. "Edan jiga artis, datang-datang langsung disambut" ucap Sanie setelah menginjakkan kakinya di Limbangan. Tetapi kami tidak langsung naik, tunggu aba-aba dari Teh Sukri, kalo dia bilang naik, kami naik, kalo nda, kita manut ngikut kata-katanya. Ternyata kami memang harus naik ojek juga, jalan masuknya jauh (ke Desa Cikurantung). Bernegosiasilah kami dengan tukang ojek dan hasilnya kami bonceng dua dengan masing-masing harga Rp.15.000. Ya kami berempat di bagi jadi dua. Saya dengan Sukri, Sanie dengan Pandu. Naik ojek. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 (saya rasa).

Ilustrasi naik ojek
Dari sinilah balapan dimulai. Dua tukang ojek yang kami sewa ini ternyata pembalap. Bagaimana tidak, jalanan yang (agak) bagus, ditambah dengan beberapa genangan air dari hujan sore itu dan orang di motor itu ada 3 (dengan badan yang tidak seperti saya), tukang ojek tetap melaju lumayan kencang.

Bermodal motor bebek dengan cc standar, si mang ojek serasa membawa motor ninja. Saya tidak tau, apakah tukang ojek disana memang sudah biasa membawa motor seperti itu atau memang mereka mantan pembalap. Saya yang diapit oleh mang ojek dan Sukri, hanya pasrah berpegangan pundak si mang ojek.

Terdengar teriakan mang ojek yang membawa Sanie dan Pandu, "angkat kaki", mereka baru saja melewati genangan air dengan kecepatan yaah kurang lebih 60 km/jam. Cukup kencang saya rasa untuk ukuran medan seperti jalanan menuju Desa Cikurantung. Setelah kami cukup berteriak, melewati beberapa desa, tikungan, sawah, dan jembatan, tukang ojek yang membawa saya dan Sukri pun memenangkan balapan ke Desa Cikurantung malam itu.

No comments:

Post a Comment