Wednesday 7 December 2011

Limbangan: Menyusuri Desa Cikurantung

Hamparan Sawah di Desa Cikurantung
Aku masih merasakan dingin di ujung kakiku. Selimut yang sudah tebal pun seperti tidak terasa. Subuh itu, aku terbangun oleh dingin dan suara-suara di rumah itu. Ibunya Sukri sudah bangun dan membangunkan Sukri yang sama seperti kami, masih tergeletak di kasur panjang di ruang keluarganya. Kami memang sedang di rumahnya Sukri, di Desa Cikurantung, Limbangan. Dia pun bangun dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Aku, Sanie, Pandu pun bergantian mengikutinya.

Semalam kami telah berencana untuk jalan-jalan pagi di sekitar Desa Cikurantung. Melihat sang mentari muncul dari ufuk timur bumi. Merasakan hangatnya sinar sang mentari. Melihat keindahan alam yang sudah disediakan Sang Pencipta di desa ini.


Walaupun sudah kalah cepat dengan sang mentari, dengan memakai sendal yang ada di rumah Sukri, kami tetap pergi. Saat itu, kami masih belum tau medan yang akan kita lewati nanti. Setelah cukup jauh berjalan dari rumah, terlihat hamparan sawah hijau yang luas. Sukri pun mengusulkan untuk melewati sawah itu dan berujung nembus ke rumahnya. Kami pun menyetujuinya. 

Menunggu nenek melewati jalan setapak yang akan kami lewati
Kami berempat :D
Sang mentari sudah mulai terasa terik pagi itu, tetapi kami terus menyusuri sawah-sawah itu. Jalan setapaknya tidak luas dan tanahnya sedikit lunak karena habis hujan kemaren sore. Sandal yang kami gunakan jadi terasa lebih berat. Tanah-tanah ikut menempel di sandal, tapi kami tidak menghiraukannya dan tetap jalan. Jari tangan Pandu tidak berhenti memotret dan merekam perjalanan kami menyusuri sawah itu. Hingga tak terasa, persawahan pun berakhir dan kami memasuki permukiman warga.

Melepas lelah, duduk-duduk di sebelah (yang kayaknya) warung
Awal masuk pemukiman, terdengar suara lagu. Dangdut. Pagi-pagi warga di sana ada yang sudah dangdutan. Mendadak kami pun berjoget di sebelah rumah itu. Suara aluran lagu dangdut yang lumayan nyaring, membuat kami (kecuali aku) terlena untuk bergoyang mengikuti irama lagu.

Setelah melewati rumah itu, kami terus melanjutkan perjalanan. Pulang kerumah Sukri pastinya. Kami sudah mulai lelah. Sang mentari sudah mulai terasa makin panas. Sesampai di rumah, kami melepas sandal yang kami gunakan dan melihat banyak tumpukan tanah yang menempel disana. Yah itu masih mending aku rasa, setelah melihat sandal yang dipake Sukri. Selain penuh dengan tanah, sandalnya juga sudah tidak berbentuk sandal. Bagian bawahnya entah robek karena kegesek batu-batu atau memang di kakinya ada silet. Aneh memang.
Sandal korban kebrutalan kaki Sukri
Puas ngetawain Sukri, kami berempat pun bergiliran mandi karena akan beranjak pergi lagi. Tasikmalaya has waited for us!

Thanks a lot for Sukri's Family :)

No comments:

Post a Comment